Laga final seharusnya menjadi ajang tarung dua tim dengan gaya bermain agresif.
Dua kutub itu adalah Spanyol yang seketika menjadi penguasa bola
yang berubah kian hati-hati dan menjadi kutub yang memanfaatkan
keahliannya dalam menguasai bola demi mencegah sang lawan mengendalikan
permainan.
Kutub satunya lagi adalah Jerman yang telah berubah dari pola main
reaktif pada Piala Dunia lalu menjadi tim yang memainkan pola bertanding
yang lebih merangsang.
Ini adalah pertempuran antara sang puritan berdarah dingin melawan tim yang memainkan sepakbola menyerang nan menghibur.
Jika saja Jerman mau mengambil risiko lebih banyak dengan
mendisiplinkan pertahananya kala melawan Italia yang terbukti berubah
sangat sembrono di babak kedua, Jermanlah yang akan memenangkan partai
semifinal itu dengan jauh lebih nyaman.
Problem yang sempat terlihat di awal turnamen, yaitu tidak
menyatunya duet Bastian Schweinsteiger-Sami Khedira, kembali terlihat di
partai semifinal itu.
Khedira adalah seorang pemain yang lebih lengkap, namun menghadapi kerumitan saat berpasangan dengan Schweinsteiger.
Sebelumnya Khedira berdiri sedangkan Schweinsteiger melengos pergi;
di turnamen ini, mereka semestinya berusaha saling memahami yaitu
manakala yang satu maju maka lainnya seharusnya melapis. Terlalu sering
keduanya saling berebut ke depan. Mereka seperti duet Steven
Gerrard-Frank Lampard dari Inggris.
Opsi striker
Saat melawan Spanyol nanti, Italia tak akan mendapatkan suasana
semenyenangkan kala melawan Jerman, kendati belum jelas benar skuad yang
bagaimana yang akan dihadapinya.
Yang jelas salah satu aspek paling menarik dari final nanti adalah
kedua tim memainkan setidaknya dua taktik berlainan selama turnamen ini
berlangsung, tapi belum tahu pasti taktik mana yang akan mereka gunakan.
Ketika keduanya bertemu di Gdansk pada babak grup, Spanyol memasang formasi 4-3-3, sementara Italia menjawabnya dengan 3-5-2.
Empat laga kemudian, Spanyol dua kali turun tanpa striker di mana
hanya memasang Fernando Torres dan sekali mencoba Alvaro Negredo sebagai
striker tunggal, serta menurunkan Cesc Fabregas sebagai pelapis
serangan.
Main tanpa striker seperti ini dikritik keras banyak pihak. Ini
menunjukkan Spanyol lebih tertarik menguasai bola ketimbang melakukan
penetrasi untuk mencetak gol. Mungkin itu ada benarnya, namun yang
pasti ada dua hal yang harus dipertimbangkan.
Pertama, Vicente Del Bosque menomorsatukan penguasaan bola. Kuasai
selama mungkin, jangan sampai direbut lawan, dan ini memastikan hanya
ada satu tim yang boleh mencetak gol.
Kedua, Spanyol menjadi tidak lagi penetratif dengan hanya memasang
satu penyerang. Fernando Torres yang tampil gemilang --termasuk saat
melawan si lemah Irlandia-- diturunkan melawan Italia kala pertandingan
tersisa 16 menit lagi.
Memasukkan Torres di menit-menit akhir memang satu opsi yang ada
faedahnya, namun saat menghadapi tim angkuh bertahan seperti Italia,
maka belum jelas benar apa yang bisa disumbangkan Torres.
Kemampuan bertarung di udara dari Fernando Llorente mungkin malah
bisa mengacaukan pertahanan ketat Italia, namun Del Bosque sepertinya
tak akan memilihnya. Alasan utamanya, permainan umpan langsung yang
menjadi keahlian Llorente akan mengorbankan pola bermain menomorsatukan
penguasaan bola yang diobsesikannya.
Alvaro Negredo bisa menawarkan jalan keluar, tapi dia tampil buruk
kala melawan Portugal. Jadinya, Spanyol mungkin akan memulai laga final
nanti dengan memasang kembali Fabregas.
Faktor De Rossi
Italia yang relatif nyaman pada pertemuan pertama mereka di babak
grup lalu, membuat Spanyol menghadapi apa yang diakui Del Bosque sebagai
miskin momen.
Secara harafiah itu artinya "kedalaman", tapi sebenarnya merujuk
kepada para pemain yang mampu berlari menusuk, lalu memecahkan struktur
pertahanan lawan.
Manakala bola bergerak menyamping maka akan relatif mudah untuk tim
dengan barisan pertahanan massal seperti Italia mengacaukan operan
lawan.
Apa yang menjadi pukulan bagi tim berpola main defensif adalah main
sembari menjemput umpan seperti dilakukan Fabregas ketika mencetak gol
penyama kedudukan dalam laga Spanyol melawan Italia di penyisihan grup
lalu.
Tiga bek Italia bermain disiplin dalam pola ini.
Daniele De Rossi yang alamiahnya adalah gelandang, bisa maju
menghadang Fabregas. Lebih penting lagi, dua bek sayap Italia, Emanuele
Giaccherini dan Christian Maggio, bisa menciptakan malapetaka bagi
Spanyol ketika mereka menguasai bola.
Sistem permainan Spanyol itu menutup ruang sesempit mungkin, tapi siapa yang bisa menutup pergerakan bek sayap?
Teoritisnya, seharusnya ini menjadi tanggung jawab dua gelandang
bernaluri menyerang (David Silva atau Andres Iniesta), namun pada
praktiknya mereka tidak bisa bermain terlalu dalam untuk hal yang tak
bisa mereka tutupi.
Jadinya ini akan menjadi tanggung jawab para bek. Dalam soal ini
baik Alvaro Arbeloa maupun Jordi Alba bisa menekan ke dalam untuk
mencegah dua bek bertahan dibiarkan menghadapi tarung dua lawan dua
melawan Antonio Cassano dan Mario Balotelli.
Partai klasik
Atas pandangan itu akan masuk akal bagi Italia untuk kembali
memasang formasi 3-5-2 yang telah digunakannya pada dua laga pertamanya,
tapi sekarang tampaknya akan kian sempurna karena Andrea Barzagli
kembali bugar.
Formasi 4-1-3-2 telah berjalan sangat baik -- empat bek yang
disiplin dan tiga gelandang termasuk Riccardo Montolivo yang nyaris
berperan sebagai playmaker yang defensif, menciptakan ruang di mana
Andrea Pirlo berubah bagai hantu berkeliaran di lapangan guna
menciptakan peluang.
Itu bisa membuat Italia menjadi sulit diprediksi, namun kedayagunaan
dua penyerangnya yang tidak ragu ikut bertahan atau menjemput bola,
membuat Italia selalu bisa mendapatkan opsi di depan.
Sekalipun Italia kembali ke sistem tiga bek, tampaknya tak akan mengorbankan De Rossi.
Dia dan Claudio Marchisio tampil mengesankan dengan merampas bola
demi melindungi Pirlo. Kenangan bagaimana dia diperdaya Torres pada laga
penyisihan grup lalu, akan membuat De Rossi akan makin hati-hati guna
tidak mengulangi kesalahannya itu.
Jadi kemungkinannya adalah Italia akan memasang delapan orang di
garis pertahanan pada hampir sepanjang pertandingan, mengosongkan sayap
dan tidak terlalu terganggu dengan apakah Spanyol memiliki ruang untuk
mengumpan.
Laga sepertinya akan sangat sesak di lapangan tengah namun kemampuan
Italia menggiring bola ke depan dengan memanfaatkan eksplosivitas dan
kreasi Balotelli dan Cassano akan berarti bahwa tim ini tak akan
tenggelam dalam pola lamban seperti terjadi pada semifinal Spanyol vs
Portugal.
Ini adalah partai klasik antara gaya agresif (proaktif) dan
menomorsatukan penguasaan bola ala Spanyol, melawan gaya main reaktif
dan mengandalkan serangan balik ala Italia.
0 komentar:
Posting Komentar